Ini kenapa ya, kok jadi seperti intrik diskon swalayan! Tau kan diskon swalayan (meskipun tidak semua) beberapa diskon di swalayan dilakukan dengan cara menaikkan harga barang beberapa persen, kemudian melabeli barang tersebut dengan tulisan diskon sesuai dengan presentasi kenaikan, lha ini kan tipu-tipu saja :D
Nah itu saja yang terjadi dengan kenaikan anggaran operasional pendidikan tahun depan, dimana tahun depan anggaran BOS untuk SD naik menjadi 800.000 dengan catatan jumlah siswa minimal turun menjadi 60, dan pengalokasian post untuk tenaga honorer turun menjadi 15% saja (dulu anggaran honorer 20%).
sekarang mari kita bandingkan :
Jika di SD Melati, tahun 2014 jumlah siswanya 40, maka alokasi dana bos yang diterima adalah 580000x80= Rp.46.400.000/tahun atau setara dengan Rp.11.600.000/triwulan.
alokasi untuk tenaga honorer sebesar 20% = Rp.9.280.000 ini artinya setiap bulan sekolah hanya boleh mengeluarkan dana Rp.773.333 untuk pembiayaan tenaga honorer.
sedangkan untuk 2015 nanti,
Jika di SD Melati terdapat 40 siswa, maka alokasi dana BOSnya menjadi :
800.000x60=Rp.48.000.000/tahun atau setara dengan Rp.12.000.000/triwulan.
alokasi untuk tenaga honorer sebesar 15% = Rp. 7.200.000 ini artinya setiap bulan sekolah hanya boleh mengeluarkan dana Rp. 600.000 untuk membayar tenaga honorer.
kenapa saya menggunakan hitung-hitungan minimal, karena yang kita bicarakan adalah bagaimana pelayanan pedidikan di tingkat yang paling bawah, biasanya terjadi di desa-desa, kalau di sekolah dengan jumlah siswa yang banyak, beban operasionalnya juga otomatis lebih ringan, dan biasanya pula di sekolah yang jumlah siswanya relatif banyak, jumlah PTKnya pun biasanya cendrung cukup.
nah dari data diatas kita dapat berkesimpulan bahwa pemerintah sudah semakin peduli terhadap proses pendidikan, buktinya alokasi dana operasional semakin meningkat. namun jika kita berkaca lagi dari pemberitaan akhir-akhir ini khususnya dengan beberapa data yang menggambarkan betapa masih banyak sekolah di indonesia yang berada di garis SPM, maka porsi pengalokasian dana operasional untuk 2015 secara jujur belum menggambarkan semangat untuk meingkatkan kwaliatas pendidikan khususnya untuk sekolah-sekolah yang berada di "pucuk Indonesia Raya".
saya berani berkata seperti ini karena bisa anda lihat sendiri meskipun anggaran operasional naik namun jika dihitung lebih teliti, anggaran untuk tenaga honorer turun lebih dari 20%
lantas apa hubungannya antara tenaga honorer dengan SPM, kalau boleh jujur distribusi guru tetap di banyak tempat di indonesia masih belum merata, nah ini menjadikan sekolah-sekolah di lokasi yang "kurang baik" menjadi miskin guru, nah untuk menutupi kondisi tersebut sekolah biasanya mengangkat tenaga honorer, namun jumlah tenaga honorer yang bisa diangkat tentu terbatas karena anggaran yang boleh digunakan juga terbatas, nah jika tahun depan anggarannya semakin berkurang maka secara teknis jumlah tenaga honorer juga harus dipangkas. bila jumlah tenaga honorer harus dipangkas, lalu siapakah yang harus mendidik siswa?
ini baru membahas masalah jumlah, jika kuantitasnya saja kurang, bagaimana mungkin kita mengaharapkan kwalitas yang baik. jika ada yang mengatakan bahwa sekolah harus selektif memilih tanaga honorer, ada yang mengatakan hanya tenaga honorer S1 yang boleh diangkat sekolah maka jawabannya adalah adakah tenaga honorer dengan klasifikasi diatas yang mau membantu sekolah dengan jadi seadanya? anda lebih tau jawabnya..
untuk mengatasi kekurangan dana untuk menggaji tenaga honorer diatas sebetulnya bisa dengan meminta bantuan kepada orang tua siswa namun, tantangannya adalah di banyak sekolah khususnya sekolah sekolah "kurang baik" dengan jumlah siswa yang sedikit, seringkali orang tua sudah terlanjur kurang peduli dengan kondisi sekolah sebab termakan bualan sekolah gratis yang terlalu sering didengungkan pada saat kampanye politik. ini sekaligus jadi hambatan baru bagi sekolah untuk kembali melakukan pengutan kepada orang tua untuk menguatkan anggaran sekolah.
harapan terakhir tentu ada di pemerintah daerah, sayangnya anggaran daerah juga terbatas, untuk mengangkat guru negeri, karena pemerintah pusat kekeh menganut prinsip 'zero growth" untuk pengangkatan pegawai negeri. gampangnya sih jumlah guru negeri yang pensiun dan diangkat yang diangkat selalu sama. kalau sudah begini sampai gajah jenggotan juga kita pasti akan selalu kekurangan guru. sebetulnya ada opsi lain berupa tenaga kontak, namun lagi lagi selain anggaran APBD yang terbatas, pemerintah pusat juga telah menegaskan pelarangan pengangkatan tenaga honrer/kontak, kecuali dilakukan dengan transparan dan akuntabel melalui sebauh sistem kepegawaian yang nantinya akan di sebut dengan Pegawai Pemerintrah Dengan Perjanjian Kerja( PPPK) yang diatur dalam UU ASN.
jadi bagaimana kira-kira nasih 75% sekolah-sekolah yang berada di garis SPM.
anda tentu lebih tau hehehe
salam SPM hehehe
ini baru membahas masalah jumlah, jika kuantitasnya saja kurang, bagaimana mungkin kita mengaharapkan kwalitas yang baik. jika ada yang mengatakan bahwa sekolah harus selektif memilih tanaga honorer, ada yang mengatakan hanya tenaga honorer S1 yang boleh diangkat sekolah maka jawabannya adalah adakah tenaga honorer dengan klasifikasi diatas yang mau membantu sekolah dengan jadi seadanya? anda lebih tau jawabnya..
untuk mengatasi kekurangan dana untuk menggaji tenaga honorer diatas sebetulnya bisa dengan meminta bantuan kepada orang tua siswa namun, tantangannya adalah di banyak sekolah khususnya sekolah sekolah "kurang baik" dengan jumlah siswa yang sedikit, seringkali orang tua sudah terlanjur kurang peduli dengan kondisi sekolah sebab termakan bualan sekolah gratis yang terlalu sering didengungkan pada saat kampanye politik. ini sekaligus jadi hambatan baru bagi sekolah untuk kembali melakukan pengutan kepada orang tua untuk menguatkan anggaran sekolah.
harapan terakhir tentu ada di pemerintah daerah, sayangnya anggaran daerah juga terbatas, untuk mengangkat guru negeri, karena pemerintah pusat kekeh menganut prinsip 'zero growth" untuk pengangkatan pegawai negeri. gampangnya sih jumlah guru negeri yang pensiun dan diangkat yang diangkat selalu sama. kalau sudah begini sampai gajah jenggotan juga kita pasti akan selalu kekurangan guru. sebetulnya ada opsi lain berupa tenaga kontak, namun lagi lagi selain anggaran APBD yang terbatas, pemerintah pusat juga telah menegaskan pelarangan pengangkatan tenaga honrer/kontak, kecuali dilakukan dengan transparan dan akuntabel melalui sebauh sistem kepegawaian yang nantinya akan di sebut dengan Pegawai Pemerintrah Dengan Perjanjian Kerja( PPPK) yang diatur dalam UU ASN.
jadi bagaimana kira-kira nasih 75% sekolah-sekolah yang berada di garis SPM.
anda tentu lebih tau hehehe
salam SPM hehehe
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda